Beranda | Artikel
Disyariatkan Menolak Taqdir Dengan Taqdir
Rabu, 12 Juli 2023

PERCAYA KEPADA QADAR ALLAH

Kapan Boleh Berhujjah Dengan Qadar.
1. Manusia boleh berhujjah dengan qadar pada musibah (yang menimpanya), seperti yang dijelaskan pada bagian pertama. Apabila seseorang sakit, atau meninggal dunia, atau mendapat musibah di luar kehendaknya, maka ia boleh berhujjah dengan taqdir Allah Subhanahu wa Ta’ala, Hendaklah dia mengucapkan:

َقَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ 

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukannya  dan apa yang dikehendakiNya mesti terjadi“.

Maka dia harus bersabar dan ridha jika ia mampu, demi untuk mendapatkan pahala. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ ١٥٦ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَيۡهِمۡ صَلَوَٰتٞ مِّن رَّبِّهِمۡ وَرَحۡمَةٞۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُهۡتَدُونَ [البقرة: ١٥٥،  ١٥٧] 

“… Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.  (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”.  Mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang Sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. [Al-Baqarah/2: 155-157]

2. Manusia tidak boleh beralasan dengan taqdir atas kemaksiatan yang dilakukannya, sebab mengakibatkan seseorang meninggalkan kewajiban, atau melakukan apa yang diharamkan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyuruh berbuat taat dan meninggalkan maksiat, menyuruh bekerja dan melarang berpegang kepada taqdir. Jika taqdir boleh menjadi hujjah bagi seseorang, tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyiksa orang-orang yang mendustakan para rasul, seperti kaum nabi Nuh u, kaum ‘Aad, kaum Tsamud, dan semisal mereka, dan tentu Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memerintahkan untuk menegakkan hukum kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran.

Dan barangsiapa yang menganggap taqdir sebagai hujjah bagi pelaku maksiat, maka hal itu  berarti akan menghapuskan kebolehan mencela dan menghukum manusia (yang berbuat buruk). Sehingga seseorang tidak boleh mencela dan menghukum orang yang melakukan aniaya terhadap dirinya, dan tidak pula boleh membedakan di antara orang yang melakukan perbuatan baik atau perbuatan jahat. Dan ini jelas merupakan pendapat yang batil.

Sesuatu yang telah ditaqdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi para hamba, berupa kebaikan atau keburukan, tergantung pada sebab-sebabnya. Suatu kebaikan memiliki sebab-sebabnya yaitu keimanan dan ketaatan, dan bagi keburukan ada sebab-sebabnya, yaitu kufur dan maksiat. Dan manusia beramal menurut kehendak yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala baginya, dan berhak memilih apa yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya. Dan seorang hamba tidak bisa mencapai ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah ditaqdirkan baginya, baik berupa keberuntungan atau kecelakaan, kecuali setelah menjalani sebab-sebab yang telah dilakukannya dengan ikhtiar yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya. Oleh karenanya, untuk memasuki surga ada sebab-sebabnya dan untuk memasuki neraka ada sebab-sebabnya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

سَيَقُولُ ٱلَّذِينَ أَشۡرَكُواْ لَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ مَآ أَشۡرَكۡنَا وَلَآ ءَابَآؤُنَا وَلَا حَرَّمۡنَا مِن شَيۡءٖۚ كَذَٰلِكَ كَذَّبَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ حَتَّىٰ ذَاقُواْ بَأۡسَنَاۗ قُلۡ هَلۡ عِندَكُم مِّنۡ عِلۡمٖ فَتُخۡرِجُوهُ لَنَآۖ إِن تَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا تَخۡرُصُونَ [الانعام: ١٤٨] 

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” demikian pulalah orang-orang sebelum mereka Telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?” kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta”. [Al-An’aam/6:148]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ [ال عمران: ١٣٢] 

“Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat”. [Ali ‘Imraan/3: 132]

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عن علي رضي الله عنه أن رسول الله- صلى الله عليه وسلم- قال: «مَا مِنْكُمْ مِنْ نَفْسٍ إلَّا وَقَدْ عُلِمَ مَنْزِلُهَا مِنَ الجَنَّةِ وَالنَّارِ» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ فَلِمَ نَعْمَلُ؟ أَفَلا نَتَّكِلُ؟ قَالَ: «لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ» ثم قرأ: {فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (5) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (6) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (7) وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى (8) وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى (9) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى (10)} متفق عليه.

Tidak ada satu jiwapun darimu kecuali telah diketahui tempatnya, surga atau neraka.’ Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa kita mesti beramal?”. Tidakkah kita berserah diri tanpa beramal?. Beliau menjawab: ‘Tidak, beramallah, sebab setiap orang dimudahkan untuk sesuatu yang ia diciptakan untuknya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca:

فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ ٥ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٦ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ ٧ وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ ٨ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٩ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ [الليل: ٥، ١٠]

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, Serta mendustakan pahala terbaik,  Maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar”. [Al-Lail/92: 5-10]

Disyari’atkan Menolak Taqdir Dengan Taqdir.

  1. Menolak taqdir yang sungguh tersimpul sebab-sebabnya dan belum terjadi dengan sebab-sebab lain dari taqdir yang berlawanan, seperti menolak musuh dengan memeranginya, menolak panas dan dingin serta semisal yang demikian itu.
  2. Menolak taqdir yang telah terjadi dengan sesuatu yang ditaqdirkan bisa mengangkat dan menghilangkannya, seperti menolak taqdir sakit dengan taqdir berobat, menolak taqdir dosa dengan taqdir bertaubat, menolak taqdir berbuat jahat dengan taqdir berbuat baik dan seterusnya.
  3. Perbuatan baik dan buruk yang muncul dari hamba tidak menafikan penyandarannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam menciptakan dan mengadakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan segala sesuatu, yaitu menciptakan manusia dan perbuatannya. Namun, adanya kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala (pada sesuatu) bukan sebagai bukti atas keridhaan-Nya.

Kekafiran, perbuatan maksiat, dan kerusakan terjadi dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukainya, tidak meridhainya, dan tidak pula memerintahkannya. Bahkan, Dia membenci dan melarangnya. Keadaan bahwa sesuatu hal dibenci dan tidak diredhai tidak mengeluarkannya dari kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala yang meliputi penciptaan semua makhluk. Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengadung hikmah sesuai dengan apa yang diatur-Nya pada kerajaan dan ciptaan-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

Manusia yang paling sempurna dan paling utama adalah manusia yang mencintai apa-apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, membenci apa saja yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Mereka tidak mempunyai rasa cinta dan benci kepada selainnya. Mereka menyuruh kepada apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dan tidak memerintahkan kepada selain itu, begitulah seterusnya. Setiap saat, hamba selalu membutuhkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mesti dijunjungnya dan larangan yang dijauhinya, serta taqdir yang diridhainya.

Ridha Terhadap Taqdir Terbagi Menjadi Tiga:

  1. Ridha dalam melaksanakan ketaatan. Hal ini diperintahkan.
  2. Ridha dengan musibah yang menimpa. Perkara dianjurkan.
  3. Kekafiran, kefasikan dan maksiat. Hal ini tidak diperintahkan untuk meridhainya. Bahkan diperintahkan membencinya, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai dan tidak meridhainya. Sekalipun Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakannya dan tidak menyukainya, namun sesungguhnya hal itu membawa kepada sesuatu yang Dia cintai, sebagaimana Dia telah menciptakan syetan. Maka kita redha dengan  apa yang telah diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun terhadap perbuatan yang tercela dan orang yang melakukannya, maka kita tidak ridha dan tidak menyukainya.

Oleh karenanya, suatu perkara, disukai dari satu sisi dan dibenci dari sisi yang lain, seperti obat yang tidak disukai, dia zat yang dibenci, akan tetapi membawa kepada hal yang disukai. Dan jalan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan membuat Allah redha (kepada kita), dengan melaksanakan apa yang disukai dan diridhai, bukan ridha dengan segala yang terjadi dan terwujud. Kita tidak diperintahkan untuk meridhai setiap apa yang ditentukan dan ditaqdirkanNya. Akan tetapi kita diperintahkan untuk meridhai apa-apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya untuk meridhainya.

Ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Baik dan Buruk Mempunyai Dua Sisi:

  1. Salah satunya: Hubungan dan penisbatannya kepada Allah. Dari sisi ini seorang hamba mesti ridha dengannya, sebab semua qadha Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah baik, adil, dan bijaksana.
  2. Kedua: Hubungan dan penisbatannya kepada hamba. Dalam hal ini, ada yang diridhai, seperti keimanan dan ketaatan, dan di antaranya ada yang tidak diridhai seperti kekafiran dan kemaksiatan. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak meridhai, tidak menyukai, dan tidak pula memerintahkannya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَرَبُّكَ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُ وَيَخۡتَارُۗ مَا كَانَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُۚ سُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشۡرِكُونَ [القصص: ٦٨] 

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). [Al-Qashash/28: 68]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِن تَكۡفُرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمۡۖ وَلَا يَرۡضَىٰ لِعِبَادِهِ ٱلۡكُفۡرَۖ وَإِن تَشۡكُرُواْ يَرۡضَهُ لَكُمۡۗ [الزمر: ٧] 

 Jika kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu. [Az-Zumar/39: 7]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ [الصافات : ٩٦] 

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.[Ash-Shaaffat/37: 96]

Perbuatan Hamba Adalah Makhluk.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan hamba dan menciptakan segala perbuatannya, Dia mengetahui hal itu, serta menulisnya sebelum terjadinya. Maka apabila hamba melakukan kebaikan atau keburukan, maka terbukalah bagi kita apa yang telah diketahui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, apa yang telah diciptakan dan ditulis-Nya. Pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapperbuatan hamba adalah pengetahuan yang bersiafat menyeluruh. Ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi segala sesuatu, tidak ada yang terlupakan dari-Nya seberat biji sawi di bumi dan tidak pula di langit.

  1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ [الصافات : ٩٦] 

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” [Ash-Shaaffat/37: 96]

  1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلۡغَيۡبِ لَا يَعۡلَمُهَآ إِلَّا هُوَۚ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِۚ وَمَا تَسۡقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعۡلَمُهَا وَلَا حَبَّةٖ فِي ظُلُمَٰتِ ٱلۡأَرۡضِ وَلَا رَطۡبٖ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ [الانعام: ٥٩] 

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).  [Al-An’aam/6: 59]

  1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَمَا تَكُونُ فِي شَأۡنٖ وَمَا تَتۡلُواْ مِنۡهُ مِن قُرۡءَانٖ وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِۚ وَمَا يَعۡزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثۡقَالِ ذَرَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِي ٱلسَّمَآءِ وَلَآ أَصۡغَرَ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡبَرَ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٍ [يونس : ٦١] 

Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh). [Yunus/10: 61]

  1. Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kepada kami, dan beliau adalah yang benar dan dibenarkan;

إَنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا, ثُمَّ يَكُوْنُ فِى ذلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذلِكَ, ثُمَّ يَكُوْنُ فِى ذلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذلِكَ. ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ وَيُؤمَرُ بِأَرْبَعُ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَمْ سَعِيْدٌ.   فَواَلَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا. وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ  حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا.

Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Kemudian menjadi segumpal darah seperti itu. Kemudian menjadi segumpal daging seperti itu. Kemudian diutus kepadanya malaikat, lalu meniupkan padanya ruh dan dia disuruh dengan empat kalimat: menulis rizqinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau beruntung. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan penghuni surga, sehingga tidak ada di antaranya dan di antara surga kecuali satu hasta, namun catatan taqdir mendahuluinya lalu ia berbuat dengan perbuatan penghuni neraka, sehingga ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian berbuat dengan perbuatan penghuni neraka, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan neraka kecuali satu hasta, namun catatan taqdir mendahuluinya lalu dia beramal dengan amalan penghuni surga, sehingga dia memasukinya.” Muttafaqun ‘alaih.[1]

Ξ Adil dan Ihsan

[Disalin dari مختصر الفقه الإسلامي   (Ringkasan Fiqih Islam Bab :  Tauhid dan keimanan التوحيد والإيمان ). Penulis Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri  Penerjemah Team Indonesia islamhouse.com : Eko Haryanto Abu Ziyad dan Mohammad Latif Lc. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2012 – 1433]
_______
Footnote
[1]  HR. al-Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643, ini adalah lafazhnya.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/84137-disyariatkan-menolak-taqdir-dengan-taqdir.html